LEGENDA KOTA TEBET
Di sebuah kampung kecil yang masih
termasuk daerah Betawi, tinggallah seorang janda dengan seorang putra
kesayangannya. Sebenarnya anak itu sangat sayang pada emaknya, tetapi malasnya
teramat sangat sehingga seringkali membuat emaknya kesal.
“Ki! Juki! bangun dong! jangan tidur melulu! Lihat tuh matahari sudah tinggi banget. Udah terang, Juki!” teriak Emak Jenab sambil memburu ke arah dipan, tetapi Marjuki tak juga bergeming oleh panggilan emaknya.
Emak Jenab gak sabaran melihat anak
semata wayangnya yang tak kunjung bangun. Emak Jenab tak kehabisan akal, ia
segera membalikkan badan, beringsut dengan cepat sambil kedua tangan menjumput
kain sarung yang kusam dikenakannya. Emak Jenab berjalan ke arah sumur dan
kembali ke kamar Marjuki dengan membawa wadah yang telah berisi air. Dicipratkan
air ke arah muka Marjuki berkali-kali. Gelagapan Marjuki dibuatnya.
“Apphh…Tolong…appphh..toolongg…tolooolonng!!”
teriak Marjuki sambil megap-megap
mulutnya dan tangannya sibuk menyeka wajahnya.
Namun, Marjuki juga tak bergeming. Ia kembali
tertidur.
Emak Jenab sudah habis kesabarannya,
diambilnya guling dekat tubuh Marjuki, dipukulkannya ke badan Marjuki
berkali-kali.
“Bangun, Juki!!! tulungin emak! Emang lu kagak laper, tidurrrrr melulu.
Emak mau masak, kayu bakar di dapur kite udah hampir habis. Cuma cukup buat sekarang aje, sedangkan untuk
besok pagi dah kagak ada. Lu tulung
cariin kayu bakar di hutan!” pinta emak Jenab nyerocos tiada hentinya kayak
petasan merecon.
“Emak… Emakku sayang, Juki masih ngantuk, bentar lagi ye. Juki lanjutin tidurnya
dulu. Gara-gara Emak nih, Juki kagak jadi dapet kambing. Lumayan pan kambingnye,
Juki bisa jual di pasar kramat. Terus
duitnya buat Emak dah, Mantap kan, Mak?” balas Juki sambil nyegir lebar dan menarik kembali sarungnya
menutupi mukanya.
“Juki… anak Emak yang cakep, tulung Emak sayang, ambilin kayu bakar,
ya Nak, pan kita mau makan, lu laper, kan?” rayu emak sambil menarik
sarung Juki agar muka Juki keliatan.
Akhirnya, Juki bangun juga dari tidurnya
sambil setengah kesal. Juki sudah lama ditinggal bapaknya. Hanya emaknya yang
selalu menemaninya di kala ia sedih ataupun senang. Emak baginya sekaligus
bapak buatnya.
“Emak, Juki cuci muka dulu ye, nanti Juki segera ke hutan mencari
kayu bakar, dah,” jawab Juki sambil bangun dari dipan kemudian ia pun lanjut menuju sumur.
Emak duduk di tepi dipan dengan mata yang tertuju ke punggung Juki. Anak laki
satu-satunya belum juga berubah. Harapan ia agar Juki menjadi laki-laki yang
bertanggung jawab belum terlihat. Emak Jenab merenung, “Salahkah aku mendidik
anakku, Tuhan?”
Emak Jenab tak pernah berhenti berdoa
kepada yang Maha Kuasa agar anaknya akan menjadi anak yang bertanggung jawab
dan dapat diandalkan bagi agama, nusa dan bangsa.
Tak
berapa kemudian.
“Emak…Juki berangkat, ye,” pamit Juki sambil
mencium punggung tangan emak Jenab dan tak lupa membawa kapak kesayangannya.
Marjuki dengan perawakan yang tegap,
dadanya bidang, wajahnya bersih sempurna untuk kategori laki-laki betawi,
tetapi sayang malasnya tidak ketulungan.
Kerjaannya hanya tidur dan tidur. Hanya perkataan emaknya saja ia mau dengar,
sedangkan orang lain tak pernah ia hiraukan.
Sungguh terik hari itu, matahari memang sedang tidak bersahabat rupanya. Dengan langkah gontai, malas-malasan, Marjuki berjalan ke arah hutan. Sepanjang perjalanan Marjuki menggerutu.
”Huh…emak, kenapa sih seneng banget
gangguin kesenengan orang. Cari kayu bakar pan
bisa sendiri, kenape aye lagi, aye lagi, kan aye lagi enak-enak mimpi, ada aje gangguanye.”
Marjuki terus ngedumel sepanjang perjalanan sampai akhirnya ia tiba di hutan.
Hutan itu sungguh gelap, pohonnya
besar-besar, lebat bahkan matahari saja tak kebagian mengintip di dalamnya.
Sebenarnya Marjuki takut jika masuk hutan ini. Kata orang kampung, hutan ini
angker. Suka banyak suara-suara aneh
yang muncul bila lewat magrib. Hutan ini tempat bermainnya para anak jin.
Marjuki bergidik teringat cerita itu. Cepat-cepat Marjuki melangkahkan kakinya.
Marjuki melihat sekelilingnya, pohon semuanya,
ditambah lagi semak belukar yang tinggi-tinggi, tak ketinggalan rawa yang gelap.
Sungguh bukan pemandangan yang mengasyikan. Marjuki berjalan lagi ke dalam hutan,
dilihatnya ada pohon besar yang gagah seakan menantang Marjuki jika berani
mendekatinya untuk ditebang dan tak jauh dari sana ada sungai yang mengalir
jernih airnya. Hanya di sini tempat yang disukai oleh Marjuki, tenang, tak ada
yang mengganggu, hanya alunan gemericik air.
“Hmmmm,
tidur bentar, ah..enak niy kayaknya di bawah pohon sambil nikmatin sepoi-sepoi
angin, kalau di rumah pan digangguin emak mulu,” pikir Marjuki.
Hanya dengan hitungan menit, Marjuki pun sudah
terlelap.
Kali ini sungguh berbeda, seolah dibuai
oleh alam, Marjuki nyenyak sekali tidurnya. Tiba-tiba, terdengar dentuman keras
sekali dan selang beberapa detik kemudian terdengar suara seorang perempuan
sedang memohon minta ampun. Marjuki terbangun. “Apa itu?”
Marjuki penasaran, ia segera bangkit dari
duduknya dan berlari ke arah sumber suara yang didengarnya. Ia kaget sekali.
Ternyata suara itu adalah suara emaknya.
“Ampun, Datok…jangan hukum anak saya, anak
saya tidak salah. Saya yang salah. Saya telah gagal mendidiknya. Ampun Datok,”
sembah Emak Jenab kepada laki-laki tua yang mengenakan destar hitam dengan dihiasi benang emas (semacam ikat kepala) dan baju penghulu berwarna hitam, sarawa hitam (semacam celana
semata kaki), kemudian dilengkapi dengan sesamping
di atas dengkul sedikit (sejenis kain
sarung), serta dikencangkan oleh cawek
(ikat pinggang).
“Kenapa kamu yang minta ampun, sedangkan
anakmu saja tidak peduli denganmu, ia tak pernah membantu kamu, selama ini
hanya kamu saja yang bekerja mati-matian. Siang malam, mulai dari pekerjaan
rumah yaitu masak, mencuci sampai dengan pekerjaan di ladang, sedangkan anakmu
hanya tidur saja. Untuk apa kau pertahankan anak seperti itu, lebih baik anakmu
buat menemani aku saja di sini. Biarkan ia berada di sini, di hutan ini. Kau
lihat, di sana! Anakmu sedang tidur dengan sangat nyaman. Dia lupa dengan
tugas yang telah
engkau berikan!” suara Datok itu
menggelegar sambil tangannya menunjuk ke arah tempat Marjuki tadi tidur.
“Ia nyaman berada di sini, biarlah ia
kuberi kerajaan di sini, ia tak perlu bekerja membantuku, ia akan kutempatkan
di dalam rawa itu, kehangatan rawa yang akan selalu menjaganya dan ia pun akan
selalu tertidur di dalamnya tanpa diganggu siapa pun.” lanjut Datok.
“Tidak……!!! Tidak, Datok, tidak…!!!” jerit
Emak Jenab
“Jangan kau masukkan anakku ke rawa yang
gelap itu, Aku sangat menyayangi anakku, Hanya dia satu-satunya milikku, Aku
berjanji akan membuatnya berubah. Aku berjanji Datok,” jerit campur tangis yang
mengiba Emak Jenab kepada Datok itu.
Melihat semua kejadian itu, Marjuki
seperti tersihir, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia berdiri saja dari balik semak
belukar yang tinggi. Hatinya ingin segera berlari dan memeluk emak
kesayangannya. Namun, ia tak mampu. Ia tak beranjak sesentipun dari tempatnya
berdiri. Matanya seakan tak mampu berkedip, mulutnya setengah terbuka,
Ia hanya mampu berkata dalam pikirnya.
“Emak … maafkan Juki. Jangan biarkan orang itu membawa Juki. Juki nggak mau. Juki takut. Juki janji akan selalu membantu emak. Juki akan menjadi anak yang berbakti sama Emak,”
“Emak … maafkan Juki. Jangan biarkan orang itu membawa Juki. Juki nggak mau. Juki takut. Juki janji akan selalu membantu emak. Juki akan menjadi anak yang berbakti sama Emak,”
“Hai!!! Jenab, tahukah kamu, rawa itu
adalah tempat anak-anak yang tak berguna, anak-anak yang hidupnya selalu
bergantung pada orang lain, anak-anak malas dan anak-anak manja. Mereka
kumasukkan ke sana dan akan kugantikan dengan anak-anak baru sebagai pengganti
anak-anak yang hilang itu,” jelas Datok, “begitu juga denganmu, akan kukirimkan
anak yang baru sebagai penggantinya, anak yang kau inginkan. Bagaimana Jenab?”
“Tidak Datok, Aku tidak mau anak yang
baru. Biarkan Marjuki menjadi anakku, bagaimanapun dia, aku tetap
menyayanginya,” tangis emak Jenab.
“Baiklah, Jenab, kalau begitu aku akan
biarkan untuk saat ini. Namun, bila aku lihat, ia tidur berlama-lama di
daerahku hingga lupa tugasnya. Aku akan membawanya untuk menemaniku di sini!”
kata Datok yang dbarengi dengan suara dentuman.
Marjuki terbangun kaget, “Hah, rupanya aku
bermimpi tadi, mimpi yang menyeramkan, aku tak mau tinggal di sini, berada
dalam rawa yang gelap, tidakkk!!,”
Marjuki langsung bergegas bangun. Ia ingat
bahwa ia diberi tugas oleh emaknya untuk
mencari kayu bakar. Marjuki ingin segera
pulang, ingin memeluk emaknya yang begitu melindungi dan sayang padanya. Marjuki
berjalan dengan langkah yang gagah, ia mencari kayu bakar untuk emaknya.
Akhirnya, Marjuki pun berhasil
mengumpulkan kayu bakar yang banyak, cukup untuk persediaan selama satu minggu.
Marjuki senang, ia yakin emaknya akan bangga melihat hasil pekerjaannya kali
ini. Dilihatnya kayu-kayu bakar itu dan diikatnya. Kemudian, dia letakkan di
punggungnya. Marjuki berjalan pulang menuju ke rumah.
Ketika Marjuki kembali melawati
pohon-pohon besar, semak- semak belukar yang tinggi, bulu kuduknya merinding. Pohon-pohon
yang lebat itu seolah-olah hendak menangkapnya dan memeluknya erat. Cabang-cabang
pohon dan rantingnya seperti tangan dan kuku-kuku yang tajam yang siap menusuk
tubuhnya. Sungguh menyeramkan.
Marjuki percepat langkahnya, tiba-tiba
menginjak batu dan tubuhnya tak mampu menahan, ia pun terjatuh. Tepat di
depannya ia melihat seperti makam. Ia teringat mimpinya tadi.
“Mungkin ini kuburan Datok tadi, iiihhh…
serem,” bangkit Marjuki buru-buru dan setengah berlari ia menuju ke rumahnya.
Sampailah Marjuki di rumahnya, ia berlari
terus dan lupa bahwa ia sedang membawa kayu bakar yang banyak. Ia tak merasakan
berat bawaannya. Di alam pikirnya ia ingin segera menemui emaknya dan memeluknya.
“Emakkkkk…Juki pulang….!!” teriak Juki.
Emak Jenab mendengar suara anaknya segera
menghambur keluar ingin segera menyambut anak semata wayangnya.
“Anakku, Juki,,,kudengar dari suaramu,
semangat sekali, ada apa, Nak?” sambil emak membantu Marjuki mengambil kayu
bakar dari punggung Marjuki.
“Emak, tadi ke mana, apakah Emak tadi
menyusul Juki ke hutan?” tanya Marjuki dengan masih napas memburu.
“Tidak Nak, Emak di rumah aja kok. Memang
kenapa? Wah…kayu-kayu ini banyak sekali Juki, ini cukup untuk seminggu. Juki
hebat sekali kamu. Nak, Emak bangga padamu!” dengan mata berbinar-binar emak
Jenab menatap hasil pekerjaan Marjuki.
“Juki sayang, emak juga sudah masak makanan
kesayanganmu, yaitu, semur jengkol,
yuk kita makan, emak sudah tunggu Juki dari tadi. Kamu pasti sudah laper. Sekarang,
segera kamu letakkan kayu-kayu bakar itu di belakang, dan kamu cuci tangan,
kita makan,” ajak emak.
Emak pun berlalu ke dalam rumah. Juki
segera mengambil ikatan kayu bakar itu dan membawanya ke belakang rumah. Kemudian
dia mencuci kaki dan tangannya dengan air yang berada dalam tempayan di samping pintu belakang
rumah. Setelah selesai, segera ia masuk, di sana emaknya sudah menunggu. Marjuki
segera menghampiri emaknya dan duduk bersila di atas bale. Ia mengambil nasi, tumis genjer, dan semur jengkol kesukaannya.
“Emak, tadi di hutan Juki sempet tidur,
Juki mimpi melihat laki-laki dengan pakaian bagus dan emak juga ada di situ,”
sambil makan
Juki bercerita tentang mimpinya, Emak Jenab mendengarkan
dengan saksama cerita Marjuki.
“Terus, Mak, tau gak pas pulangnya, Juki
jatoh eh depan Juki kayak ada makam gitu, serem, Juki jadi inget laki-laki
itu,” Akhir cerita Juki bersamaan dengan berakhir pula Juki makan.
“Hmmm, kamu menemukan makam Datok Tember,
rupanya,” kata Emak.
“Siapa dia, Mak?” tanya Marjuki dengan
mulut penuh makanan.
“Datok Tember adalah orang Minang yang
tinggal di tanah betawi. Dia orang paling kaya di kampung. Dia punya anak
laki-laki dan ia sangat sayang pada anaknya itu. Suatu hari ia sedang
berjalan-jalan dengan anaknya di hutan lebat yang kamu datangi tadi. Anaknya terpeleset dan masuk ke
rawa-rawa itu. Rawa itu adalah rawa penghisap. Anak lelakinya pun terhisap ke
rawa itu. Datok Tember tidak bisa
menyelamatkan anaknya. Datok Tember sedih sangat luar biasa. Datok Tember hidup,
tetapi raganya telah mati, seperti hidup
segan mati tak mau. Akhirnya, Datok Tember pun meninggal. Makamnya dibuat
di sebelah rawa itu,” cerita Emak.
Marjuki memeluk tubuh renta emaknya dan ia
berkata,”Juki sayang Emak, Juki janji akan selalu membantu Emak.”
Emak Jenab tersenyum mendengar perkataan
Marjuki sambil mengusap kepala Marjuki.
Sejak saat itu Marjuki benar-benar telah
berubah, ia pun menjadi pemuda yang rajin dan bertanggung jawab. Emak bangga
kepada Marjuki, dan bukan hanya Emak Jenab saja yang bangga, melainkan
orang-orang kampung pun ikut senang dan bangga kepada Marjuki.
_______________
Kini hutan itu dikenal dengan daerah Tebet, Tebet artinya daerah berupa
rawa-rawa dan semak belukar yang menyerupai hutan lebat atau dapat dikatakan
rimbun. Bagi orang Melayu menyebut lebat adalah Tebat.
Namun, Tebet di masa kini bukan lagi
rawa-rawa becek atau semak belukar, melainkan pemukiman penduduk, perkantoran
serta banyak distro yang menjual berbagai model pakaian sebagai gambaran gaya
hidup anak-anak muda metropolitan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus